بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ
Pada zaman sekarang semakin ramai orang berlomba-lomba mengejar jabatan, berlomba lomba ingin menjadi pemimpin, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut paham atau prinsip ini, tidak lengkap rasanya selagi hayat dikandung badan, kalau tidak pernah (meski sekali) menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah "aset", karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekwensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya. Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, walikota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri. Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang dan juga harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Jika kepemimpinan diemban oleh bukan ahlinya dan oleh yang tidak paham bahwa tanggungjawab yang diemban dirinya sangatlah berat, harus bertanggung jawab urusan dunia akhirat, maka hasil yang didapat pada akhirnya kurang maksimal.
Sebagaimana isi beberapa hadis berikut ini :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI – 6015)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda yang pemahamannya sering salah paham. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyyah” (maksudnya: suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits). Iman mereka tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu perangilah mereka (luruskan pemahaman mereka).” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari 3342).
Dalam bangunan masyarakat Islami,
pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan
ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima,
produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan
kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan
mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah
dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal
keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung
jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan
keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan
mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran
sebagaimana isi ayat berikut ini :
(Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum
elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah
berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan
negeri itu sehancur-hancurnya."
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur, yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam.
Apakah yang dimaksud dengan pemimpin?
Dalam Islam pemimpin disebut dengan Khalifah. Khaliifah adalah wakil, pengganti atau duta.
Sedangkan secara istilah Khaliifah adalah orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT, memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syariat Islam dan memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW .
Dari pengertian diatas jelas bahwa pemimpin menurut pandangan Islam tidak hanya menjalankan roda pemerintahan begitu saja namun seorang pemimpin harus mewajibkan kepada rakyatnya untuk melaksanakan apa saja yang terdapat dalam syariat Islam, kepada pemeluk agama islam dan juga pada yang bukan beragama Islam.
Bagaimana kriteria pemimpin idaman ?
Jika kita menyimak terhadap perjalanan
siroh nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an
(Qs. 39 : 23), (Qs. 49 : 7), dan Al-Hadits , maka kita dapat menyimpulkan
secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a. Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan
bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria
keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan
keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan
kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Seperti pidato Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah, beliau sangat berhati hati dalam menjaga sikapnya, :
"Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku."
Seperti pidato Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah, beliau sangat berhati hati dalam menjaga sikapnya, :
"Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku."
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak
akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu
merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang
pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam
di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan,
dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang
pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat
dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah
orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah
mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan
hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala
angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa
seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan
emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam
mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an
dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan
menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan
pengambilan keputusan.
- Berdasarkan (Qs. 4 : 58), mengandung
arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu
amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah)
yang dimiliki.
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
c. Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang
pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan
terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang
pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera
dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang
pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi
(konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai
pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga
pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka
seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari
bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah.
Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk
mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai
khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang
selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar,
dan senantiasa beriman kepada Allah.
d. Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
sebagaimana nasehat Abu Bakar As-Shiddiq kepada Umar bin Khattab:
Bertakwalah Umar, Siapa yang berat timbangannya adalah yang banyak beramalnya di dunia, Dan timbangan dari kebaikan adalah timbangan yang berat, Jika kau mengingat ahli surga maka katakan aku takut jika aku tidak bisa bersamanya. Dan jika kau mengingat ahli neraka maka katakan aku tidak berharap bisa bersama mereka. Jadilah orang yang mau menasehati dan dinasehati. Tidak menginginkan sesuatu kecuali hanya Allah, dan tidak berkecil hati atas rahmat Allah. Sayangilah umat muslim. Tumbuhkanlah kasih sayang diantaranya. Dan kasih sayang kepadamu.
Bertakwalah Umar, Siapa yang berat timbangannya adalah yang banyak beramalnya di dunia, Dan timbangan dari kebaikan adalah timbangan yang berat, Jika kau mengingat ahli surga maka katakan aku takut jika aku tidak bisa bersamanya. Dan jika kau mengingat ahli neraka maka katakan aku tidak berharap bisa bersama mereka. Jadilah orang yang mau menasehati dan dinasehati. Tidak menginginkan sesuatu kecuali hanya Allah, dan tidak berkecil hati atas rahmat Allah. Sayangilah umat muslim. Tumbuhkanlah kasih sayang diantaranya. Dan kasih sayang kepadamu.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang
pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya.
Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak
ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang
pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah),
sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan
sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling
mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki
kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol
melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada)
dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang
pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang
minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi,
distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu
menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya
(tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota,
pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan
tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya
bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih
berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun
akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab
terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan
nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan
merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
"Al Haqqu min robbika, fala takuu nanna minal mumtariin" (Qs. Al Baqarah (2) : 147)
artinya :
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Semoga kita semua selalu dalam petunjuk dan hidayahNya. Aamiin.
sumber : dari berbagai sumber
Related Post