Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan
pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di
masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika
Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.
Kekuatan
sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin
agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai
pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.
Suatu
hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya,
anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya
jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan
teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan
menangis.
Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah
mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru.
Tapi, dari mana uangnya? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak
cukup untuk membeli baju baru. Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar
menyurati baitul mal (bendahara negara).
Isi surat itu,
(kira-kira bunyinya begini): "Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah
Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang
sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah
setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua."
Mendapati surat
dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat
balasan. Bunyinya, kurang lebih begini: "Wahai Amirul Mukminin, surat
Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan
pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai
khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong
jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau
masih hidup?"
Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar.
Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa
esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud
sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.
Setelah memohon
ampun, ia pun memanggil anaknya. "Wahai anakku, maafkan ayahmu. Aku tak
sanggup membelikan baju baru untukmu. Ketahuilah, kemuliaan seseorang
bukan diukur dari bajunya, melainkan dari kemuliaan akhlaknya. Sekarang,
pergilah engkau ke sekolah, dan katakan saja kepada teman-temanmu bahwa
ayahmu tak punya uang untuk membeli baju baru."
Alangkah luar
biasanya perhatian dan kewaspadaan seorang pemimpin dan bawahan. Mereka
saling memberikan nasihat dan peringatan. Kisah ini menohok kesadaran
kita tentang perilaku para pemimpin sekarang di negeri ini.
Alih-alih
mengutamakan kesederhanaan dan kemuliaan akhlak, mereka malah saling
berebut kekuasaan dan memperkaya diri dengan perilaku korup. Semua itu
dilakukan tanpa rasa bersalah. Bahkan, antara atasan dan bawahan saling
menutupi kesalahan satu sama lain. Tak heran bila Allah menimpakan azab
demi azab (bencana) untuk menyadarkan kita agar senantiasa takut
kepada-Nya. Wallahu a'lam.
sumber : klik disini